Kira-kira 3 minggu yang lalu saya nonton dengan suami. Tadinya mau nonton Edensor, tapi ternyata kami telat karena film itu sudah tidak tayang lagi, hiks.. Maklum kami bukan pelanggan bioskop. Akhirnya kami menonton Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck.
Saya sudah pernah baca novelnya, goebahan Boeya Hamka. Dulu, waktu SMP (dulu saya pelanggan setia buku-buku terbitan Balai Pustaka di perpustakaan sekolah, haha). Saya ingat, ceritanya bagus sekali. Bagus! Sangat. Kebiasaan saya, kalau ada novel bagus lalu difilmkan dan saya menontonnya, maka saya akan kecewa. Kecewa karena saya sudah berimajinasi kemana-mana, eh ternyata waktu difilmkan cuma begitu *plak. Tapi kali ini, film ini, saya mau nonton. Tanya kenapa.
Benar bahwa saya sudah tamat membaca ceritanya dan terharu biru luar biasa, waktu SMP. Tapi sayangnya sekarang saya lupa sama sekali ceritanya apa dan bagaimana (*kooook biissaaaa...hahaha >.<!).
Tulisan ini bukan tentang kisah cinta, melainkan tentang move on.
Zainuddin sudah cukup "malang" dengan tidak diakui sebagai masyarakat beradat dan tidak pantas menjadi pendamping bagi Hayati. Tak lain, hanya karena ia bukan keturunan Minangkabau tulen. Ayahnya Minang, tapi ibunya Bugis. "Kemalangannya" bertambah ketika Hayati, gadis impiannya yang telah berjanji setia menunggunya, menerima pinangan lelaki lain. Dari kota, keluarga terpandang, kaya, dan, minang tulen. Zainuddin sungguh terpukul. Ia sakit parah, parah sekali, terkapar lama di tempat tidur.
Suatu hari saudaranya berkata menyadarkan Zainuddin. Mau sampai kapan begini terus? Sedangkan wanita yang ia ratapi tengah berbahagia dengan suaminya. Tragis. Zainuddin bangkit. Mungkin hatinya lelah. Dipikirnya ia bisa saja melupakan Hayati, bila ia merantau ke Jawa, Batavia.
Merantaulah ia. Lalu dengan bakat sastranya, dia menulis. Singkat kata tulisannya laris, dibukukan dan terjual kemana-mana. Lalu dia dipercaya memegang bisnis koleganya dan sukses. Zainuddin telah sukses. Dia berhasil move on. Itu satu.
Banyak orang menitikkan air mata sedih saat adegan Hayati meninggal dengan didampingi kekasih sejatinya, Zainuddin. Saya, juga sih, tapi tidak banyak. Sampai di akhir cerita Zainuddin akhirnya 'berdamai dengan kenyataan dan hatinya', bahwa ia mencintai Hayati dan, bahwa Hayati telah meninggal.
Hati Zainuddin tidak lagi pilu, tidak bersedih lagi. Tapi air mata saya langsung membanjir saat scene akhir menyorot rumah besar Zainuddin yang ramai dengan anak-anak, menjadi "Rumah Yatim Piatu Hayati". Dan jujur saja, saya adalah audiens terakhir yang meninggalkan ruangan karena masih harus meredakan isak dan ingus dulu. Hehehe..
Itu dua. Dua kali Zainuddin move on, bangkit dari kesedihannya. Dengan dua cara yang berbeda. Pertama ia lari, menghindari hal-hal yang membuatnya sakit. Merantau, dunia baru, kesibukan baru, optimisme baru. Ia berhasil dengan flight-nya.
Kedua, Zainuddin tidak lari. Tetap di rumahnya, bahkan menguburkan jasad Hayati di sana, di dekatnya. Ia berdamai, menerima takdirnya dengan ikhlas. Lalu mengubah energi kesedihan yang negatif menjadi kontribusi positif bagi orang lain. Saya menangis bombay karena ini.
Begitu hebatnya energi orang yang sedih bila diarahkan pada kebaikan. Yang kedua ini, dia fight. Dan berhasil. Dua-duanya berhasil.
Jadi move on itu tergantung; tergantung kita sendiri!
Thursday, January 30, 2014
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment