Suatu malam, pukul 19.45 wita kurang lebih, saya naik pete-pete (angkot) sepulang liqo. Awalnya ada beberapa orang selain saya, dan supir pun menyetel musik cukup keras. Setelah melewati pasar pabaeng-baeng, tinggallah saya sendiri di petpet itu.
Saya duduk di belakang supir. Tak lama, musik dimatikan. Lalu pak supir memulai pembicaraan. Via spion. Awalnya dia bertanya saya turun dimana. Saya turun di jalan abdul kadir, di mana di sana terdapat kampus UIT (Universitas Indonesia Timur). Dia bertanya apakah saya kuliah di sana. Saya jawab tidak, saya tinggal di sana dan sekarang saya sudah bekerja (sudah lulus). Basa-basi, dia bilang mengira saya masih kuliah (maklum tampang saya selalu abg,hehe). Lalu dia bertanya lagi di mana saya kuliah, di mana saya bekerja, kenapa tidak mencari kerja di Jakarta, dan dengan siapa saya di Makassar.
Sampailah pada intinya, dia bertanya, kenapa tidak melamar PNS? Katanya sayang sekali ijazah S1 saya kalau tidak jadi PNS. Saya bilang, saya memang belum ingin jadi PNS. Diskusi berlanjut. Ketika saya kemukakan wacana untuk jadi wiraswasta, dia semakin menyayangkan. Wiraswasta tidak perlu ijazah S1. Ya, memang. Pun kalau yang didapat dari sarjana adalah ilmunya, bukan sekedar selembar ijazah, dia masih belum 'terima' alasan saya kenapa tidak melamar PNS.
Sampai saya wacanakan hal yang saya harap lebih mengena padanya: mana lebih kaya, PNS atau pengusaha? Eh amazing loh menurut saya, dia tidak terpengaruh. Memang sih dia sempat mengiyakan, tapi masih 'gak rela'. Dia berpatokan pada neneknya yang pensiunan PNS dan masih dapat gaji (pensiunan) sampai sekarang walaupun cucunya sudah sebesar dia. Hihihi...
Yah, diskusi berlanjut alot tapi lucu. Muter-muter, ngulang-ngulang. Yang terjadi sebenarnya adalah saling mempengaruhi: dia ingin mengubah pikiran saya agar mau daftar PNS, dan saya mempengaruhinya untuk memulai usaha sendiri meski kecil-kecilan dulu. Tapi satu hal yang unik yang saya garis bawahi dari supir muda nan kocak dan lugu ini bukan tentang keinginannya yang sangat kuat untuk jadi PNS dan dapat gaji seumur hidup. Melainkan, yang saya tangkap adalah keinginannya untuk sekolah tinggi. Saya tidak bertanya dia pernah sekolah sampai tingkat apa, namun jelas sekali dia sangat ingin sekolah.
Terlepas dari manakah yang lebih ingin dia dapatkan, ilmu yang didapat dari sekolah ataukah ijazah setelah lulusnya, saya cukup apresiasi. Paling tidak di tengah kehidupannya yang tidak berlebih, dia termasuk salah satu pemuda yang mau berpikir. Tidak pragmatis demi mendapatkan kenyamanan hidup. Meski sederhana, dia berpikir akan proses. Dan segenggam rasa iri tentang pendidikan, buat saya malam itu, cukup mengharukan dan membuat saya bersyukur sepenuh perasaan.
No comments:
Post a Comment