Bunderan HI.
Kuakrabi karena sebuah status: mahasiswa UI. Seringkali aksi ke sana, az-zumaar; berombongan-rombongan, dengan mencarter beberapa miniarta jurusan Depok-Pasar Minggu. Berjejal-jejal dalam metromini itu, panas karena sesak pun karena berjaket kuning dan siap dengan slayer penutup wajah. Seringnya jadi ‘rakyat jelata’, hanya beberapa kali turut menertibkan rombongan aksi.
Sekarang, berkantor di dekat lokasi kenangan itu. Kadang jalan dengan teman-teman ke GI (Grand Indonesia) untuk makan siang. Di kantinnya, tentu saja. Hehe… kalau dulu naik angkutan seperti yang disebut di atas, sekarang naik taksi (cuman 6ribuan sampe GI, muat berlima). Dulu melintas bundaran HI dengan panas sesak di miniarta, sekarang nyaman sejuk di dalam taksi. Dulu pakaian berkeringat terbungkus jaket kuning, sekarang rapi.
Namun pasti.
Melihat suatu tempat dengan perspektif berbeda. Tapi sayangnya, perspektif ini terkadang digunakan oleh para mantan aktivis seterusnya. Perspektif yang dibangun dari rasa nyaman, ruangan ber-AC, kendaraan pribadi, dan ketergantungan masa depan kepada tempat dia bekerja. Akhirnya, jadilah dia mantan aktivis sejati. :)
ReplyDeletekak... aku ga ngerti masa.. =___='''
ReplyDeleteIntinya, kalo orang merasa nyaman, terkadang ia akan merubah paradigmanya tentang segala sesuatu, termasuk dalam perjuangan..
ReplyDelete