Hari gini, masihkah ada di antara kita yang suka mengirim surat? Surat… bukan dalam arti administratif (surat keterangan, surat tugas, apalagi surat permohonan dana/donatur). Bukan juga surat elektronik atau komen di facebook atau multiply. Apalagi hanya pesan singkat (meski 4 layers) via sms.
Surat yang saya maksud di sini benar-benar SURAT. Aduh, apa ya?? Surat dalam bayangan kanak-kanak kita dulu. Tulisan tangan, di atas kertas bergaris, dimasukkan dalam sebuah amplop tertutup, boleh juga sampai dikirim lewat pos. Atau disampaikan langsung pada orang tertentu yang dituju. Surat yang menanyakan dan berbagi kabar, atau pesan khusus lain. Nah, sudah sepahamkah kita mengenai “surat” dalam tulisan ini?
Saya biasa menulis (mengetik) surat singkat setiap bulan, minimal untuk 20 orang rekan saya di BPH. Kadang untuk staf-staf saya dan beberapa staf lain. Semuanya lewat kantong ajaib bernama Bukan Kantong Biasa yang tergantung warna-warni di ruang BEM. Meski diisinya massal, isi dari setiap surat selalu berbeda dan khusus untuk setiap orang. Suatu saat saya sedang agak melo, dan sangat tersentuh dengan Rabithah-nya Izzis. Saya jadi ingin memberikan mereka semangat dengan bait-bait nasyid tersebut, ditambah dengan beberapa baris kata-kata saya sendiri. Singkat kata, semua orang mendapatkan surat yang sama bulan itu.
Sama sekali awalnya tidak ingin melakukan penelitian eksperimen atau melihat perbedaan apapun. Beberapa orang ‘protes’ waktu melihat isi suratnya ternyata template. “Yah, sama semua ya, Farah? Yang spesial doongg”.. dan protes-protes senada lainnya, kebanyakan dari yang laki-laki (tanya kenapa).
Suatu kali, saya menulis surat untuk staf yang sebelumnya baru saja diskusi dengan saya mengenai amanah barunya jadi PO sebuah acara. Seorang staf departemen lain yang juga jadi PO acara lain melihat dan menyatakan ia iri karna saya tidak pernah mengisi BKBnya. Baiklah, pas masih ada 1 tango wafelatos, saya juga menulis surat untuknya. Sambil menulis saya berpikir, sebenarnya isi dari surat ini bisa saja saya sampaikan lewat sms. Rp15 saja. Tapi, ah, pasti beda. (apanya yah?!).
YAA… apanya ya yang beda?? Beda bila menerima pesan yang sama melalui sms, e-mail, facebook, dan surat seperti yang dimaksud dalam tulisan ini. Atau tatap muka sekalipun. Saya pun merasa senang kala BKB saya diisi tulisan/surat dari orang, ada makanannya pula (wehee..). Dan ketika membaca, biasanya saya jadi mesem-mesem sendiri. Dan kertas suratnya, sayang kalau dibuang.
Mungkin bahasa tulisan lebih menyentuh kali ya..? Ada effort yang dikeluarkan saat menulis surat. Pulpen, kertas, dan energi kita untuk ‘mengirim’ surat tersebut hingga sampai ke tujuan. Apalagi kalau harus melalui pos. Beda dengan sms yang cukup merogoh handphone dari kantong, ketik, kirim.
Selain itu, lebih romantis kali yaa..?? hahahah…
Tulisan tangan. Mungkin, ada keterlibatan perasaan yang mengalir lewat gerakan tangan kita saat menulis. Tercermin dalam liukan setiap huruf yang kita tulis. Berbeda dengan sekedar huruf-huruf seragam dari tekanan-tekanan jari kita pada keyboard komputer. Karna komputer tak bisa merasa.
Jadi ingat perbincangan di kelas Pemahaman Diri, saat membahas tentang hubungan interpersonal, jejaring sosial, termasuk facebook. Kegemaran pada facebook, dalam titik ekstrim, akan memiskinkan kepekaan kita terhadap emosi dan ekspresi manusia. Hal ini karna terbatas pada emoticons yang tidak sebanyak ekspresi manusia. Ya, karna komputer tak bisa merasa.
Mungkin itu yang membedakan surat dengan bentuk-bentuk fasilitas pengirim pesan lainnya. Bahasa tulisan, effort yang dikeluarkan, dan perasaan yang mengalir lewat tulisan tangan.
Bookfair I’m coming!!
June 30th, 2009
Bukankah inti dari komunikasi adalah pertukaran pesan..
ReplyDeleteJadi selama pesan tersampaikan dng sempurna, media apapun takkan mjd masalah bkn. Sedangkn mslh emosi, sy pikir sangat tgantung pada kepekaan sang penerima pesan dlm menangkap siratan emosi yg ada..
Bener khan!!!
Awas kalo gak setuju!!!
(Kira2 far menganggap 3 tanda seru itu sbg bntuk kemarahan atau nggak ya. He2)
Aku udah ga pernah main surat2an lagi far..
ReplyDeleteKirim surat ke tetangga dunk! n_n
apanya marah kak?! saya menangkap kesan malah seperti anak kecil yang lagi maksain orang dewasa percaya sama pendapatnya. heheheee....
ReplyDeleteiya kak, tapi kepekaan akan ekspresi emosi atau bahasa non-verbal itu juga mesti dilatih.. kalo ga biasa dipakai karna direduksi oleh bentuk-bentuk komunikasi yang "miskin" akan itu, bisa-bisa manusia masa depan sangat kaku dan dingin tanpa emosi, komunikasi pun jadi hambar karna hanya sebatas kata-kata tanpa rasa
boleh ay... siapin aja ya, kotak surat di sebelah. heheheee..
ReplyDeleteSaya melihatnya justru sebagai sebuah perkembangan komunikasi yang makin bervariasi. Dengan pilihan yg semakin banyak, manusia masa depan justru akan lebih leluasa berekspresi..
ReplyDeleteah ka ims, komennya ga kayak lulusan psikologi nih.. karna itu, yang dikhawatirkan adalah, manusia masa depan akan lebih sering menggunakan bentuk-bentuk komunikasi yang miskin bahasa non-verbalnya. itu yang bahaya. banyak kan sekarang yang lebih senang fesbukan daripada silaturrahim berkunjung dan bertemu dengan orang lain...
ReplyDeleteSy pikir itu cuma kekhawatiran dek farah saja.. :)
ReplyDeleteKebutuhan silaturahim dalam hal kuantitas (fesbuk,dsb), pasti diimbangi dng kualitas (interaksi langsung face to face)..
jadi inget surat punya farah waktu milad 21th..
ReplyDeleteaku ky lg baca surat dari orangtua yg nun jauh di sebrang pulau..
wakakakkakak,,, sebegitunyakah??!
ReplyDelete