Rekans, apapun yang kalian lakukan hari itu, kalian semua, telah memberiku pelajaran yang sangat berharga.
Pelajaran pertama (pelajaran kedua dst di tulisan berikutnya). Belajar bahwa menjadi idealis juga harus berpijak pada kenyataan, bila tidak ingin menjadi penyandang autisma. Karna hanya dengan melihat kenyataan lah kita bisa berpikir dan merancang kondisi yang ideal. Nah, masalahnya adalah, bagaimana menjaga kadar idealisme dan realisme tersebut agar tetap seimbang dan sehat?
Apabila kadar idealisme lebih besar atau bahkan jauh melampaui realisme seseorang, orang itu akan memiliki optimisme dan semangat yang tinggi. Namun karna tidak berdasarkan pada kenyataan, maka idealisme itu merupakan idealisme yang rapuh dan tidak akan pernah bisa terwujud. Di sini dilibatkan pemahaman integral terhadap medan, analisis kebutuhan dan masalah, menyintesis ‘benih-benih solusi’, dan kemampuan menyusun strategi. Ketika ia kembali menyadari ‘dunia nyata’ dimana idealismenya tidak (belum) dapat berkembang subur, maka akan lahirlah sangat banyak kekecewaan. Dan seketika runtuhlah optimisme dan semangat itu.
Sebaliknya, apabila kadar realisme lebih besar daripada idealisme, maka seseorang akan tumbuh menjadi manusia kecil yang tidak akan pernah berani bermimpi (apatah lagi berusaha?). Apalagi yang masih tersisa dari sikap pesimis??! (tulisan terkait)
Lalu, kita kembali ke masalah, bagaimana menjaga kadar idealisme dan realisme tersebut tetap seimbang dan sehat?? Caranya, ya itu tadi. Dibutuhkan kemampuan memahami medan (kenyataan) secara integral, analisis kebutuhan dan masalah, menyintesis peluang dan ‘benih-benih solusi’, dan kemampuan menyusun strategi. Nah, bagaimana langkah konkretnya?
…………………………………………………………………………………………………..
Sama sekali tidak menjawab. Mohon maaf. Karna skill-skill tersebut merupakan life skill menurut saya, yang dipelajari dari pengalaman (concrete experience) yang tidak cukup hanya 1-2 kali. Apalagi hanya membaca tulisan reflektif yang tidak ilmiah seperti ini.
Kalau ada yang mengartikan tulisan ini adalah kemarahan,
Maka kemarahan itu adalah kemarahan saya, yang ditujukan untuk diri saya pribadi.
Tapi kalau tidak, ya, bagus lah.
Sejatinya saya hanya ‘agak geram’ dengan diri saya yang terlalu. Yang selalu.
Hanya ingin menulis kok…
Bekasi, 29 Maret 2009