Hari ini aku dan ibuku bertualang ke rumah uwak di dekat Stasiun Kota. Singkat cerita kami sampai di stasiun itu, lalu naik bemo. Hoy, subhanallah,,, banyak sekali yang kupikirkan kala itu. Terjebak sedikit macet di pusat perbelanjaan (WTC Mangga Dua dan sekitarnya), polusi udara dari kendaraan bermotor yang (na’udzubillah) kabarnya bisa menjadi penyebab autisme. Lalu supir bemo yang sangat piawai menemukan ruang-ruang kosong diantara mobil-mobil dan kendaraan lainnya (catt: bemo tersebut juga menyumbang polusi cukup besar untuk udara di Jakarta). Meliuk-liuk, salip kanan-kiri, lalu dengan mulus menghindari segala kemungkinan buruk; tabrakan. Hhhhaaaa,,, cukup stress saya, setelah sebelumnya di Bekasi saya “naik motor”.
Pulangnya, kami memilih naik bajaj. Sebenarnya aku sangat ingin mencoba naik kancil, selain untuk mengurangi kontribusi pribadi pada polusi udara. Tapi sang kancil kosong tak jua melintas. Akhirnya bajaj yang beruntung itu melintas dan menawarkan jasa pada kami.
Supir bajaj tak kalah luar biasa-nya!! Lebih parah bahkan. Polusinya apalagi. Sampai orang sering melontarkan tebakan, “Bajaj, rem-nya di mana hayo??”. Dan dengan agak basinya yang ditanya akan menjawab, “Di pundak abangnya!”. Tepat.
Saya tergelitik oleh satu hal. Hal apa yang mendorong bangsa kita dahulu untuk mengimpor bajaj dan bemo dari India? Ada yang tau???
Bekasi, 30 Agustus 2008
tanya Soekarno
ReplyDeleteSoekarnonya sedang sibuk kak... kasihan....
ReplyDelete