HAPUSKAN
PERGURUAN TINGGI NEGERI (PTN)*
Oleh: Farah Z
Mahasiswi Psikologi UI angkatan 2005
Apa yang pertama kali terlintas dalam benak teman-teman ketika mendengar frase ’Perguruan Tinggi Negeri’? Nama tersohor? Berkualitas? Hanya berisi orang-orang cerdas? Atau biaya kuliah yang murah? Alangkah menyenangkannya. Namun mungkin hal-hal indah di atas hanya akan menjadi dongeng bagi kita dan anak-anak bangsa ini beberapa saat lagi.
Ya, karena sebentar lagi status PTN (dan sekolah-sekolah negeri lainnya dari tingkat TK hingga pendidikan tinggi) akan berganti dengan disahkannya Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP). Berbeda dengan sebelumnya saat UI masih berstatus PTN dan berada di bawah Departemen Pendidikan Nasional, UI—dan beberapa universitas ’negeri’ lainnya—yang saat ini berstatus Badan Hukum Milik Negara (BHMN), memiliki kemandirian dan wewenang untuk mengatur segala urusannya, termasuk mandiri dalam hal keuangan. Walaupun belum sampai 100% UI menanggung biayanya sendiri, kita sama-sama bisa melihat bagaimana kelimpungannya para pejabat di tingkat fakultas maupun UI dalam mencari uang agar kegiatan pendidikan bisa tetap berjalan. Nah, solusi yang paling mudah, adalah menaikkan biaya pendidikan yang harus dibayar oleh mahasiswa; seperti yang saat ini kita rasakan.
Namun memiliki status BHMN masih ’sedikit’ lebih baik dibandingkan status BHP. Dengan menjadi BHP, UI yang sebelumnya masih mendapat sedikit subsidi dari pemerintah, menjadi benar-benar lepas dari pemerintah: yang juga berarti pemerintah lepas tangan dari tanggung jawabnya membiayai pendidikan. Hal ini tercantum pada pasal 22 dalam RUU BHP mengenai Pendanaan dan Kekayaan BHP sebagai berikut:
(1) Modal awal BHP berwujud aset penyelenggara yang dipisahkan atau dialihkan kepada BHP.
(2) Aset BHP dapat berasal dari modal penyelenggara, utang kepada pihak lain, sumbangan atau bantuan pihak lain, dan hasil usaha BHP, yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah memberikan sumber daya dalam bentuk hibah kepada BHP sesuai dengan penugasan yang diberikan.
Sangat jelas tercantum bahwa aset BHP bukan berasal dari pemerintah. Sedangkan pemerintah hanya akan memberikan sumber daya untuk membantu pembiayaan pendidikan, yang selanjutnya tanggung jawab pembiayaan itu dilepas kepada pengelola BHP tersebut.
Padahal yang juga tercantum sangat jelas dalam konstitusi kita, UUD 1945 pasal 31, pemerintah wajib membiayai pendidikan warganya. Pasal tersebut berbunyi:
(1) Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.
(2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.
(3) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan Undang-Undang.
(4) Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya DUA PULUH PERSEN dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.
Selain itu, dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU No.20 tahun 2003) pasal 49 ayat (1), juga disebutkan sebagai berikut:
(1) Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Ada yang bisa menghitung sudah berapa kali pemerintah melanggar sendiri Konstitusi maupun Undang-Undang yang dibuatnya sendiri???
Organ tertinggi dari BHP adalah Majelis Wali Amanat (MWA) yang diantaranya bertugas menetapkan kebijakan umum BHP, mengusahakan pemenuhan kebutuhan pembiayaan BHP, dan menyelesaikan persoalan BHP termasuk masalah keuangan (pasal 12 RUU BHP). Dengan demikian, BHP harus dapat membiayai kebutuhannya sendiri, membangun unit usaha atau mencari sumber pendapatan lain untuk menjaga Badan Hukum tersebut dari kepailitan. Akhirnya, bukan tidak mungkin biaya pendidikan yang harus dibayarkan oleh siswa/mahasiswa menjadi lebih mahal dan tak terjangkau.
Sebuah institusi/lembaga yang memiliki status Badan Hukum adalah tidak berbeda dengan sebuah perusahaan. Bisa saja dilakukan penggabungan dan akuisisi dengan BHP lain, maupun dibubarkan dan jatuh pailit/bangkrut (pasal 28, 29, 30, dan 31 RUU BHP). Bayangkan bila suatu saat nanti akan ada universitas terkemuka di Indonesia yang ditutup atau dibubarkan karena tidak sanggup lagi membiayai kebutuhannya!
Pada dasarnya, pembuatan RUU BHP memang ‘ada’ baiknya. Salah satunya adalah memberi kebebasan kepada lembaga-lembaga pendidikan untuk dapat mengatur dirinya sendiri tanpa campur tangan pemerintah. Juga dapat meningkatkan kreativitas para pengelola lembaga pendidikan agar bisa memenuhi kebutuhannya sendiri tanpa harus mengandalkan bantuan dari pemerintah. Namun sayangnya, terlalu banyak hal yang harus disiapkan untuk menuju ‘kebaikan-kebaikan’ tersebut. Mungkin RUU BHP baru baik bila disahkan setelah bangsa Indonesia siap dan mampu menyelenggarakan pendidikannya sendiri (namun tetap dengan pertanyaan, “Lantas bagaimana dengan tanggung jawab pemerintah yang merupakan amanat konstitusi dalam pembiayaan pendidikan?”).
Sumber: UUD 1945
UU No.20/2003 (UU SISDIKNAS)
RUU Badan Hukum Pendidikan (BHP)
Senat Akademik / Dewan Pendidik
Merumuskan dan mengawasi penerapan norma dan ketentuan akademik satuan pendidikan.
|
Satuan Pendidikan
Organ BHP yang melaksanakan pendidikan
|
Dewan Audit
|
MWA
(pendiri, masyarakat, unsur siswa/mahasiswa)
|
No comments:
Post a Comment